Beranda | Artikel
Membangun Masjid diatas Kuburan Termasuk Dosa Besar(1)
Senin, 29 Mei 2023

MEMBANGUN MASJID DIATAS KUBURAN TERMASUK DOSA BESAR

Setelah jelas bagi kita makna al-Ittikhadz (menjadikan kuburan sebagai masjid) yang di sebutkan di dalam hadits-hadits yang telah lalu, maka ada baiknya jika kita berhenti sejenak pada hadits-hadits berikut ini untuk mengetahui hukum al-ittikhadz di atas tadi, dengan berpanduan pada apa yang telah di kemukakan oleh para ulama sekitar masalah tersebut. Maka saya katakan; Setiap orang yang memperhatikan secara seksama hadits-hadits yang mulia tersebut, maka akan nampak jelas baginya, tanpa ada keraguan sama sekali bahwa membangun masjid di atas kuburan itu adalah perbuatan haram, bahkan merupakan salah satu dari perbuatan dosa besar, karena adanya laknat dari Allah Ta’ala, dan sifat yang di sandang oleh pelakunya sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah Tabbaaraka wa ta’ala. Dan hal itu tidak mungkin di peroleh kecuali oleh orang yang melakukan perbuatan dosa besar.

Pendapat para ulama mengenai hal tersebut.
Madzhab yang empat telah bersepakat akan haramnya hal tersebut. Bahkan, di antara madzhab tersebut ada yang terang-terangan menyatakan bahwa hal tersebut termasuk perbuatan dosa besar. Berikut ini uraian madzhab-madzhab yang di makdsud.

1. Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
Al-Faqih Ibnu Hajar al-Haitsami di dalam kitabnya az-Zawaajir ‘an Iqtraafil Kabaair 1/120, mengatakan; “Dosa besar itu ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan dan yang kesembilan puluh adalah menjadikan kuburan sebagai masjid, memberi penerang di atasnya, menjadikan sebagai berhala, melakukan thowaf di sisinya, mengusap-usapnya serta sholat menghadap ke arahnya”.

Lebih lanjut lagi, Ibnu Hajar menyitir beberapa hadits yang terdahulu serta hadits-hadits yang lainnya. Kemudian beliau mengatakan pada halaman (111):

Peringatan: Di ikut sertakan keenam hal tersebut sebagai dosa besar sempat terlontar dari ungkapan beberapa ulama dari penganut madzhab Syafi’iyah. Seakan-akan dia mengambil kesimpulan itu berdasarkan pada hadits-hadits yang telah saya sebutkan. Dan sisi menjadikan kuburan sebagai masjid termasuk bagian yang sudah sangat jelas, karena Allah Ta’ala melaknat orang yang melakukan perbuatan tersebut terhadap kuburan para Nabi mereka, dan mengkategorikan orang yang melakukan hal tersebut terhadap kuburan orang-orang sholeh di antara mereka sebagai orang yang paling buruk di sisi Allah Tabaarka wa ta’ala pada hari kiamat kelak. Maka dalam hal ini terkandung peringatan bagi kita semua seperti yang tercantum di dalam sebuah riwayat: “Beliau memperingatkan agar mereka tidak terjerumus seperti apa yang mereka perbuat”. Artinya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya melalui sabda beliau tersebut agar tidak melakukan seperti apa yang telah di kerjakan oleh orang-orang tersebut, sehingga mereka akan mendapat laknat seperti yang mereka dapatkan. Bertolak dari hal tersebut di atas, maka sahabat-sahabat kami mengatakan: “Diharamkan sholat menghadap kuburan para Nabi dan wali dengan tujuan untuk mencari berkah sekaligus mengagungkanya. Demikian juga dengan sholat di atas kuburan yang di maksudkan untuk mendapatkan berkah serta untuk mengagung-agungkannya. Dan status hukum perbuatan ini sebagai dosa besar sudah sangat jelas dari hadits-hadits di atas”.

Sedangkan penganut dari madzhab Hanbali mengemukakan: “Ada seseorang yang bermaksud sholat di kuburan dengan tujuan mencari berkah darinya dan mengesampingkan Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya, dengan membuat perkara baru dalam agama yang tidak pernah di perbolehkan oleh Allah Ta’ala. Karena adanya larangan dalam masalah ini dan juga sudah menjadi konsesus para ulama, maka sesungguhnya sesuatu yang sangat besar keharamannya dan penyebab perbuatan syirik adalah sholat di kuburan, dan menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah atau membangun masjid di atasnya. Dan pendapat yang memakruhkan, harus di tafsirkan dengan selain itu, karena tidak mungkin para ulama akan membolehkan perbuatan yang pelakunya mendapat laknat sebagaimana telah mutawatir di kabarkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka wajib untuk segera menghancurkan kuburannya, dan juga menghancurkan kubah-kubah yang di bangun di atasnya, karena masjdi di atas kuburan itu lebih berbahaya daripada masjid Dhirar. Sebab, masjid itu di bangun atas dasar sikap pembangkangan terhadap Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sedang beliau sendiri juga telah melarangnya. Selain itu, beliau juga memerintahkan untuk menghancurkan kuburan yang di tinggikan. Dan wajib untuk melenyapkan penerang atau lampu yang di letakan di atas kuburan serta tidak boleh mewakafkannya dan bernadzar dengannya”.

Ini semua ungkapan yang di nyatakan oleh al-Faqih Ibnu Hajar al-Haitsami yang telah di akui oleh muhaqiq al-Alusi di dalam kitabnya Ruuhul Ma’ani 5/31. Dan pernyataanya tersebut menunjukan tentang kedalaman serta kepahaman ilmu yang di ketahuinya dalam masalah agama.

Demikian juga dengan pernyataan yang di nukil dari para ulama dari penganut madzhab Hanbali: “Dan pendapat yang menyatakan hal itu adalah makruh maka di arahkan kepada selain hal tersebut”. Seakan-akan pernyataanya ini mengisyaratkan pada ucapannya Imam Syafi’i, di mana beliau mengatakan: “Dan saya memakruhkan di dirikan masjid di atas kuburan..”. sampai akhir ucapan beliau yang telah saya nukil secara lengkap sebelum ini.

Itu pula yang menjadi pegangan para pengikut madzhab Syafi’i, sebagaimana yang di sebutkan di dalam kitab at-Tahdzib dan syarahnya al-Majmuu’. Anehnya, dalam hal itu mereka berhujjah dengan menggunakan hadits-hadits yang telah lalu, padahal semua hadits tersebut secara nyata mengharamkan perbuatan itu dan melaknat pelakunya. Kalau seandainya kemakruhan itu bagi mereka sebagai pengharaman maka maknanya berdekatan, tetapi mengapa mereka memakruhkan itu sebagai bentuk pembolehan. Lalu, bagaimana pendapat yang memakruhkan itu dapat sejalan dengan hadits-hadits yang mereka jadikan sebagai dalil tersebut?!.

Ini saya katakan, meskipun tidak mustahil saya menganggap pada penafsiran makna makruh dengan pembolehan, akan tetapi dalam ungkapan Imam Syafi’i terdahulu secara khusus harus di tafsirkan dengan pengertian haram. Karena itulah makna syar’i yang di maksudkan dalam gaya penyampaian al-Qur’an. Dan tidak di ragukan lagi bahwa Imam Syafi’i sangat terpengaruh dengan gaya bahasa yang ada di dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, jika kita perhatikan ungkapannya pada suatu kalimat yang mempunyai pengertian khusus di dalam al-Qur’an, maka wajib membawanya pada makna tersebut, tidak di bawa kepada pengertian dalam istilah yang berlaku dan di pakai oleh para ulama mutaakhirin (belakangan). Di mana Allah Ta’ala berfirman:

قال الله تعالى :{ وَكَرَّهَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡكُفۡرَ وَٱلۡفُسُوقَ وَٱلۡعِصۡيَانَۚ } (سورة الحجران : 7)

“Serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan”. [al-Hujuraat/49: 7].

Semua yang di sampaikan dalam ayat di atas termasuk hal yang di haramkan. Dan makna inilah –wallahu a’lam- yang di maksud oleh Imam Syafi’i dengan ucapannya: “Dan saya memakruhkan (membenci)…”. Hal tersebut di perkuat dengan ucapan setelahnya, di mana beliau mengatakan: “Dan jika dia mengerjakan sholat dengan menghadap kearahnya, maka sholatnya sah, akan tetapi dirinya telah melakukan perbuatan yang buruk”. Ucapannya ‘asaa-a’ maknanya yaitu melakukan perbuatan yang buruk, yakni haram. Sebab, itulah yang di maksudkan oleh al-Qur’an di dalam kata “as-sayyiah” yang ada dalam tatanan bahasa al-Qur’an. Seperti yang terdapat dalam surat al-Israa’, di mana Allah Ta’ala setelah melarang membunuh anak dan mendekati perbuatan zina serta bunuh diri dan seterusnya sebagaimana yang tercantum dalam ayat tersebut, Allah Shubhanahu wa ta’alla mengakhiri ayat tersebut dengan mengatakan:

قال الله تعالى :{ كُلُّ ذَٰلِكَ كَانَ سَيِّئُهُۥ عِندَ رَبِّكَ مَكۡرُوهٗا} ( سورة الإسراء : 38) .

“Semua itu adalah kejahatan yang amat dibenci di sisi Tuhanmu”. [al-Israa/17: 38]. Yakni, di haramkan.

Dan di pertegas lagi bahwa makna inilah yang di maksudkan oleh Imam Syafi’i di dalam ungkapanya tentang kata makruh yang berkaitan dengan masalah ini. Dan dalam kandungan madzhabnya di sebutkan: “Bahwa hukum asal dalam larangan adalah haram, kecuali bila ada dalil yang menunjukan kepada pengertian lain”. Hal itu sebagaimana yang telah di sampaikan secara gamblang di dalam risalahnya Jimaa’ul ilmi hal: 125.Dan juga yang tercantum di dalam kitabnya ar-Risaalah hal: 343.

Seperti yang di ketahui oleh setiap orang yang telah mengkaji masalah ini dengan dalil-dalilnya, bahwasanya tidak ada dalil satu pun yang bisa mengalihkan larangan yang terkandung di dalam hadits-hadits yang terdahulu kepada makna selain haram. Bagaimana mungkin hal itu akan di artikan kepada sesuatu selain haram, sedangkan hadits-hadits tersebut secara tegas menunjukan untuk pengharaman, sebagaimana telah di jelaskan di awal. Oleh karena itu, bisa saya pastikan bahwa pengharaman mendirikan masjid di atas kuburan merupakan sebuah ketetapan yang ada di dalam madzhab asy-Syafi’i, apalagi beliau secara jelas telah menyatakan membenci setelah menyebutkan hadits: “Semoga Allah mengutuk orang-orang Yahudi dan Nashrani, karena mereka telah menjadikan kuburan para Nabinya sebagai masjid”, sebagaimana yang telah di sampaikan terdahulu. Oleh karena itu, tidak aneh apabila al-Hafizh al-Iraqi -yang mana beliau adalah seorang penganut madzhab Syafi’i- secara terang-terangan mengharamkan untuk mendirikan masjid di atas kuburan, sebagaimana telah lewat nukilannya. Wallahu a’lam.

Oleh karena itu, dapat kami katakan bahwa suatu kesalahan orang yang menisbatkan kepada Imam Syafi’i tentang pendapat yang membolehkan seorang menikahi puterinya hasil dari perzinahan dengan argumen karena Imam Syafi’i hanya memakruhkannya, dan makruh itu tidak bertentangan dengan Sesutu yang di bolehkan, apabila untuk tanzih (kebolehannya lebih kuat).

Ibnul Qoyim mengatakan di dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in 1/47-48: “Imam Syafi’i menetapkan makruhnya seorang laki-laki yang menikahi puterinya hasil dari hubungan zina. Dan tidak ada sama sekali pernyataan beliau yang menyatakan mubah atau boleh. Dan yang layak serta sesuai dengan kemuliaan, keimaman, dan kedudukannya yang telah di berikan oleh Allah Ta’ala dalam perkara agama, bahwa hukum makruh yang beliau tetapkan masuk dalam pengertian haram. Dan beliau menggunakan kalimat makruh karena perkara yang haram adalah perkara yang sangat di benci oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya. Di mana Allah Ta’ala mengatakan setelah menyebutkan perkara-perkara yang di haramkan, yaitu pada firmanNya:

قال الله تعالى:{وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ … } ( سورة الإسراء 23) .

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia….” [al-Israa’/17: 23].

Sampai pada firman -Nya:

قال الله تعالى:{ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ }(سورة الإسراء : 33)

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk (membunuhnya), melainkan dengan (alasan) yang benar”. [al-Israa/17: 33].

Sampai kepada firman -Nya:

قال الله تعالى : { وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ … } ( سورة الإسراء: 36)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya..”. [Al-Israa’/17: 36].

Sampai ayat terakhir, kemudian Allah Ta’ala berfirman:

قال الله تعالى: { كُلُّ ذَٰلِكَ كَانَ سَيِّئُهُۥ عِندَ رَبِّكَ مَكۡرُوهٗا } ( سورة الإسراء : 38) .

“Semua itu adalah kejahatan yang amat dibenci di sisi Tuhanmu”. [al-Israa’/17: 38].

Dan di dalam hadits shahih di sebutkan: “Sesungguhnya Allah membenci pembicaraan yang berdasarkan katanya dan katanya, banyak bertanya, dan membuang-buang harta”. Dengan demikian kaum salaf menggunakan istilah karahah (benci) dalam pengertian yang di pergunakan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam firman-Nya dan sabda Rasul-Nya. Akan tetapi kaum mutaakhirin menggunakan kalimat itu khusus untuk pengertian makruh yang tidak mengandung pengertian haram, yang barangsiapa meninggalkannya itu lebih baik daripada orang yang mengerjakannya. Kemudian, ada di antara mereka yang membawa ungkapan para imam tadi untuk istilah yang baru, lalu mereka melakukan kesalahan yang cukup fatal dalam masalah ini. Tidak hanya kata tersebut, tetapi juga kalimat-kalimat yang lainnya yang tidak layak bagi firman Allah Shubhanahu wa ta’alla dan sabda Rasul -Nya untuk di terapkan pada istilah yang baru.

Pada kesempatan ini, perlu kami katakan: “Yang wajib di perhatikan oleh para ulama adalah berhati-hati terhadap istilah-istilah baru yang muncul belakangan pada kata-kata Arab yang mengandung makna-makna khsusus dan populer di kalangan masyarakat Arab selain istilah-istilah yang baru tersebut. Sebab, al-Qur’an itu di turunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu, kosa kata dan kalimatnya harus di pahami pada batasan-batasan pemahaman yang ada pada masyarakat Arab yang kepada mereka al-Qur’an di turunkan dan tidak boleh di tafsrikan dengan menggunakan istilah-istilah baru yang bermunculan dan banyak di pergunakan oleh kalangan mutaakhirin. Jika tidak demikian, maka seorang yang menafsirkan akan terperosok ke dalam kesalahan serta mengada-ada terhadap Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya tanpa ia sadari. Dan saya telah mengambil satu contoh mengenai hal itu pada kalimat (al-Karahah)”. Dan di sana ada contoh lain, yaitu kata “as-Sunnah”, yang jika di tinjau secara etimologis, maka kata tersebut berarti jalan. Dan kata itu mencakup semua yang ada pada Nabi Muhammad Shalalllahu ‘alaihi wa sallam, baik itu dari petunjuk maupun cahayanya, yang wajib maupun yang sunah.

Sedangkan di tinjau dari pengertian secara syari’i, maka kata tersebut khusus untuk sesuatu yang tidak wajib dari petunjuk Nabi Muhammad Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, tidak di perbolehkan mengartikan kata ‘as- Sunnah’ yang di sebutkan di dalam beberapa hadits mulia dengan pengertian secara makna terminologis (tinjauan syar’i) ini. Misalnya, sabda Nabi Muhammad Shalalllahu ‘alaihi wa sallam: “…Wajib atas kalian mengikuti sunnahku…”. Dan juga sabda beliau yang lain: “…Barangsiapa yang tidak senang dengan sunahku, berarti ia bukan termasuk golonganku”.

Dan yang serupa dengan itu adalah hadits yang di lontarkan oleh sebagian syaikh pada zaman ini, tentang perintah untuk berpegang pada sunnah yang di artikan dengan makna terminologi tersebut, yaitu: ‘Barangsiapa yang meninggalkan sunnahku, maka ia tidak akan mendapatkan syafa’atku’. Maka dengan mengartikan seperti itu, mereka telah melakukan dua kesalahan, yaitu:

Pertama: Penisbatan hadits oleh mereka kepada Nabi uhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang sepengetahuan kami, hadits tersebut tidak memiliki asal muasal yang jelas.

Kedua: Penafsiran mereka terhadap sunnah dengan pengertian secara terminologi, maka itu merupakan bentuk kelalaian yang mereka lakukan terhadap pengertian-pengertian syar’i. Dan betapa banyak orang yang melakukan kesalahan dalam masalah ini yang di sebabkan oleh kelengahan seperti itu.

Oleh karena itu, perkara seperti inilah yang seringkali di ingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qoyim rahimahumallah. Mereka memerintahkan agar dalam menafsirkan kata-kata yang mengandung makna syari’at, agar merujuk kepada bahasa, bukan tradisi. Hal itu pada hakekatnya merupakan dasar bagi apa yang mereka sebut sekarang ini dengan: ad-Diraasah at-Tariikhiyyah lil alFaazh (kajian historis terhadap kata/lafazh).

Ada baiknya kami mengisyaratkan bahwa tujuan terpenting dari Perhimpunan Bahasa Arab di Negara Kesatuan Arab yang berada di Mesir adalah membuat “Kamus Historis Bahasa Arab”, serta menyebarluaskan kajian secara detail mengenai sejarah beberapa kalimat dan terjadinya perubahan yang muncul dengan menerangkan sebabnya, sebagaimana yang terdapat pada alenia kedua dari materi kedua dari undang-undang yang bernomor 434 (1955) yang secara khusus membahas tentang lembaga perhimpunan bahasa Arab (lihat majalah Majalah al-Majma’, volume 8, hal: 5). Mudah-mudahan lembaga ini bisa mengemban tugasnya yang besar ini dan mengantarkannya tangan orang Arab muslim. Sebab, penduduk Makkah itu lebih mengenal masyarakatnya. Dan di katakan; Pemilik rumah itu lebih mengetahui isi rumahnya. Dengan demikian, proyek besar ini akan menyelamatkan diri dari tipu daya orientalis dan tipu daya kaum kolonialis.

[Disalin dari تحذير الساجد من اتخاذ القبور مساجد (Peringatan Keras Untuk Para Penyembah Kubur) Penulis : Syaikh Al-Alamah Muhammad Nashirudin Al-Albani , Penerjemah Abu Umamah Arif Hidayatullah. Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2013 – 1434]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/82006-membangun-masjid-diatas-kuburan-termasuk-dosa-besar1.html